Minggu, 03 November 2013

tulisan 10

Tak Sepakat dengan Jokowi, Buruh Ingin Naik Kelas
·         Penulis :
·         Estu Suryowati
·         Sabtu, 2 November 2013 | 13:37 WIB
Description: http://assets.kompas.com/data/photo/2013/10/31/1355400Total780x390.jpg
Buruh Ring I Jatim kembali unjuk rasa di Surabaya. | KOMPAS.com/Achmad Faizal

JAKARTA, KOMPAS.com — Para buruh merasa kecewa dengan keputusan Joko Widodo yang menetapkan upah minimum provinsi (UMP) bagi DKI Jakarta 2014 sebesar Rp 2.441.301,74 dan terus melakukan perlawanan agar gajinya bisa mencapai Rp 3,7 juta per bulan. Konfederesi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai, dengan UMP yang ditetapkan Jokowi, buruh masih mengalami kesulitan untuk memenuhi standar hidup yang layak.

"Kita perlu naik kelas. Dengan upah segitu tidak mungkin buruh bisa punya rumah, kuliah, dan menyekolahkan anak-anak mereka lebih tinggi," ujar Sekjen KSPI Muhamad Rusdi, di Jakarta, Sabtu (2/11/2013). 

Dengan upah Rp 3,7 juta, Rusdi mengklaim buruh akan merasa lebih tenang memikirkan pendidikannya sendiri ataupun pendidikan anak-anak mereka. Dengan demikian, ada harapan untuk perbaikan kesejahteraan buruh. 

"Di mana-mana, buruh Indonesia itu hanya bisa jadi staf. Bapaknya staf, anak-anaknya juga mentok staf," imbuh Rusdi. 

Dia menambahkan, UMP bukan satu-satunya instrumen untuk mendorong kesejahteraan buruh. Menurutnya, sejauh ini isu ketenagakerjaan masih diwarnai ketidakpastian bekerja dengan adanya sistem outsourcing. Ia mengklaim, 70 persen dari sekitar 120 juta tenaga kerja baru masih berstatus outsourcing dan kontrak. Bahkan lucunya, lanjut Rusdi, beberapa sarjana baru (fresh graduate) pun harus melewati proses magang untuk menjadi karyawan tetap. 

"Orang Indonesia tidak punya kepastian kerja," sebut Rusdi. 

Dia juga menyinggung soal jaminan sosial yang harus dilaksanakan serempak pada tahun 2014. Ia menuturkan, tidak boleh lagi ada orang miskin yang ditolak berobat di rumah sakit. 

"Kita berharap debat kesejahteraan ini terus digaungkan. Ketiga ini adalah resep kesejahteraan ala buruh," tekan Rusdi. 

Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Anton Supit menuturkan, UMP hanya merupakan jaring pengaman (safety net) untuk satu tahun. 

"Rumah dan lain-lain itu tidak masuk kamar UMP," ungkap Anton. 

Di sisi lain, Anton menambahkan, jika ketiga hal itu menjadi resep buruh untuk memperbaiki kesejahteraan, maka cara yang bisa dilakukan adalah bernegosiasi. Dia pun menyindir Presiden KSPI Said Iqbal yang tak hadir ataupun mengirimkan perwakilan saat penetapan UMP DKI Jakarta, Jumat lalu.

"Jangan seperti Iqbal. Iqbal itu di mana-mana demo dulu baru negosiasi," sindir Anton.

"Kita bisa negosiasi tapi cara mereka (buruh) menyandera manajemen, merusak pabrik, itu saya tidak apresiasi. Pejuang sejati itu negosiasi. Kalau tidak berhasil, baru demo," tandasnya.
Editor : Caroline Damanik


Analisis :Menurut saya upah yang tinggi belom tentu meningkatkan tingkat kesejahteraan .contohnya dengan pendapatan yang tinggi  dengan keadaan semua yang meningkat sesuai dengan inflasi menurut saya daya beli buruh tidak terlalu berpengaruh akan kenaikan gaji.Menurut saya untuk meningkatkan kesejahteraan buruh perlu peran dari pemerintah .Dengan tidak ada pembedaan miskin kaya bagi  buruh dalam meminta pengobatan di rumah sakit contohnya.dan diberikan biaya rumah sakit bagi buruh  yang murah,sehingga apa bla dia sakit gajinya masih ada sisa buat biaya yang lain .Serta pemerintah harus bisa mendidik buruh agar lebih mandiri soalnya kalo masa  outsourcing habis mereka dapat tetap menghidupi dirinya serta tanggungannya.

Sumber :kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar