Soal Upah Minimum, ke Mana
Pemerintah Harus Berpihak?
·
Penulis :
·
Estu Suryowati
·
Sabtu, 2 November 2013 | 14:45 WIB
Buruh angkut ketika melakukan pekerjaannya di Pelabuhan Sunda Kelapa,
Jakarta Utara, Selasa (30/4/2013). Besok pada tanggal 1 Mei, para buruh sedunia
akan memperingati Hari Buruh atau biasa disebut dengan May Day. | KOMPAS IMAGES
/ VITALIS YOGI TRISNA
JAKARTA, KOMPAS.com — Polemik upah minimum provinsi (UMP) terus bergulir meski 12 dari 34 provinsi telah menetapkan UMP. Kalangan buruh terus mendengungkan perlawanan, sedangkan para pengusaha, terutama di DKI Jakarta, dengan berat menerima penetapan UMP meski sebagian dari mereka juga mengancam hengkang jika tuntutan buruh dikabulkan. Lalu, untuk mengakomodasi kepentingan buruh dan pengusaha, ke manakah pemerintah harus berpihak?
Anggota Komisi IX DPR RI, Indra, berpendapat, biaya tenaga kerja (labor cost) tak akan langsung menyebabkan iklim investasi dan usaha merosot.
Ia menyebutkan, berdasarkan data World Bank, penyebab utama penghambat investasi dan bisnis adalah adanya pungutan liar. Artinya, lanjut Indra, jika pemerintah bisa menjamin tak ada pungutan liar (pungli), maka pengusaha bisa menjalankan bisnisnya dengan tenang di Indonesia. Hal itu ditengarai juga linier dengan kemudahan berusaha di Indonesia.
"Dari riset World Bank, dari 100 persen biaya produksi perusahaan, untuk biaya tenaga kerja sebesar 9-12 persen. Namun faktanya, saat ini dari 19-24 persen biaya produksi perusahaan hanya untuk pungli," kata Indra dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (2/11/2013).
"Kalau pungli bisa terentaskan (tertuntaskan), uang pungli bisa tumpah ke buruh," lanjutnya.
Di sisi lain, politisi PKS itu mempertanyakan fungsi pemerintah dalam mengawasi implementasi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ia menilai pemerintah mandul dalam menindak pengusaha yang tak mematuhi aturan ketenagakerjaan, seperti soal sistem alih daya dan dispensasi penangguhan.
Ia memaparkan, pengusaha yang tak mampu menggaji karyawan sesuai UMP sebenarnya sudah diberikan dispensasi berupa penangguhan, seperti tercantum dalam Pasal 92 UU Ketenagakerjaan. Kendati mendapat penangguhan pun, audit perusahaan harus terus berjalan dan tak dibenarkan adanya laporan palsu atas audit tersebut, yang ujung-ujungnya merugikan buruh.
Begitu pula soal sistem alih daya yang diatur dalam Pasal 64 dan Pasal 65. Sayangnya, lanjut Indra, baik pemerintah pusat maupun daerah tak menaruh perhatian terhadap dua hal tersebut.
"Realitasnya banyak pengusaha yang mengabaikan, itu yang terjadi sehingga tidak ada kepastian masa depan (buruh). Pemerintah dengan tupoksinya (tugas, pokok, dan fungsi) juga tidak menjalankan perintah UU dengan maksimal," ujarnya.
"Menurut saya, soal UMP ini pemerintah enggak usah berpihak ke mana-mana. Tegakkan saja law enforcement," tambahnya kemudian.
Editor : Caroline Damanik
Analisis saya : menurut saya apabila memang biaya cost buruh
tidak lebih besar dari pungli maka hal
yang paling tepat adalah ajadah meniadakan pungli di indonesia.Jadi di perlukan
peran pemerintah untuk menanggulani pungli.Jadi menurut saya apabila biaya
pungli hilang biaya itu bisa di alokasikan kepada biaya buruh .sehingga taraf
hidup para buruh bisa meningkat tanpa harus membebani pengusaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar